ADA APA DIBALIK PENGHENTIAN KASUS KORUPSI DPRD SULSEL?
Oleh Rahma Saiyed
Setelah berjalan hampir tiga tahun, penyidikan kasus korupsi dana
APBD 2003 di DPRD Sulawesi Selatan yang merugikan negara Rp18,2
miliar akhirnya dihentikan tim penyidik Polda Sulawesi Selatan.
Satuan Direktorat Reskrim Polda Sulsel beberapa hari lalu secara
resmi menyatakan penyidikan kasus dihentikan dan membebaskan enam
orang tersangka, termasuk Ketua DPRD Sulsel, Agus Arifin Nu'mang.
Bahkan Drs H Eddy Baramuli, mantan Ketua DPRD Sulsel periode
1999-2004 dilaporkan telah menggelar acara syukuran atas
penghentian penyidikan kasus itu dan menyatakan kembali siap
berdinas di DPRD setempat, setelah hampir tiga tahun ini
'menonaktifkan' diri.
Penghentian penyidikan kasus tersebut ditembuskan kepada Kejati
Sulsel, Mashyudi Ridwan melalui surat No.Pol. 12/98/II/2007
tertanggal 26 Februari 2007.
Polda dan Kejati Sulsel telah menjalin kerjasama untuk menuntaskan
kasus itu, namun akhirnya bersama-sama sepakat bahwa tidak cukup
bukti untuk melanjutkan kasus itu ke penuntutan.
Kabid Humas Polda, Kombes Pol. Djoko Subroto menjelaskan bahwa
penghentian pemeriksaan itu dilakukan karena tim penyidik tidak
menemukan bukti-bukti penyalahgunaan kasus dugaan korupsi DPRD
Sulsel 2003, setelah pemerintah mencabut PP 110/2000 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD.
Padahal, Kapolda Sulsel, Irjen Pol Aryanto Boedihardjo pernah
berjanji bahwa pihaknya akan tetap melanjutkan penyelidikan kasus
tersebut meski PP 110/2000 dihapus.
Tim penyidik Polda Sulsel akan menggunakan SK Gubernur Nomor 24
a/IV/2003 tentang pelaksanaan APBD yang didalamnya menjelaskan
tentang unsur peruntukan anggaran tersebut agar penyidikan kasus
tersebut tetap dilanjutkan.
"Salah satu upaya penyidikan yang dilakukan adalah dengan cara
mengambil unsur "peruntukan anggaran" dana APBD tersebut seperti
yang termaktub dalam SK 24 a itu." jelas Aryanto.
Mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini lebih lanjut mengatakan,
kendati Mahkamah Agung menolak judicial review (uji materi) SK 24
a tersebut seperti yang diajukan LSM di Sulsel, pihaknya tetap
akan melanjutkan dan mendalami kasus ini untuk mencari tahu letak
penyimpangan dana APBD yang dilakukan sejumlah anggota DPRD Sulsel
periode 1999-2004.
Ia memang mengakui bahwa penanganan kasus ini terasa sulit setelah
PP 110/2000 dihapus karena harus menunggu ijin dari Mendagri untuk
memeriksa sejumlah anggota dewan yang menjadi tersangka.
Di samping itu, untuk meneruskan kasus itu harus menunggu
keputusan MA terkait judicial review SK-24-a yang diajukan LSM.
Pelimpahan berkas kasus tersebut telah lima kali bolak balik dari
Polda ke Kejati Sulsel karena dinyatakan belum lengkap (P19).
Terakhir, berkas kasus ini dikembalikan pihak Kejati Sulsel pada
tanggal 4 Desember 2006 sebelum kasus tersebut resmi dihentikan.
Reaksi masyarakat
Penghentian kasus ini kontan mendapat respon LSM yang sejak awal
memperkarakan kasus tersebut.
Koordinator Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK), Djusman AR
mengatakan bahwa pihaknya akan memperkarakan Kapolda Sulsel
terkait dengan masalah tersebut.
"Seharusnya tim penyidik perlu melakukan eksaminasi kembali
sebelum menghentikan kasus tersebut," jelasnya dan menambahkan
bahwa penghentian kasus tersebut telah membuat masyarakat kecewa
dan bisa jadi kepercayaan terhadap aparat hukum dalam menangani
kasus korupsi luntur.
Djusman mengangap, sikap penyidik dalam penanganan kasus ini telah
mengebiri peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Sementara itu, pengamat hukum yang juga aktif di LSM tersebut,
Abraham Samad mengatakan, langkah itu bisa menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum, khususnya kasus korupsi di Sulsel.
"Polda harusnya mempertimbangkan matang-matang berdasarkan fakta
hukum yang ada," katanya Abrahan yang juga merupakan Koordinator
Anti Corruption Committee (ACC) ini.
Berbeda halnya dengan reaksi tersangka. Setelah mengetahui kasus
tersebut dihentikan, salah satu tersangka, Eddy Baramuli, yang
juga mantan ketua DPRD Sulsel, malah menggelar syukuran.
Syukuran dilakukan setelah mengetahui bahwa dirinya bebas dari
jeratan hukum itu.
Baramuli sempat tidak berkantor di gedung dewan setelah dinyatakan
sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun setelah bebas ia
berencana melanjutkan aktivitasnya sebagai angota dewan.
Lebih 100 persen
Kasus ini mencuat pada tahun 2004 saat auditor Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel Bastian Lubis membeberkan
kejanggalan dalam penyusunan anggaran DPRD Sulsel periode 2003.
Dalam anggaran iru tunjangan tambahan penghasilan untuk anggota
DPRD yang semula Rp 4,81 miliar dinaikkan menjadi Rp11,4 miliar
atau naik lebih dari 130 persen.
Padahal dalam PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, istilah
tunjangan tambahan penghasilan itu tidak ada.
Dalam PP tersebut hanya ada enam jenis penghasilan, yaitu uang
representasi, uang paket, tunjangan jabatan, komisi khusus, dan
tunjangan perbaikan penghasilan. Boleh jadi tunjangan tambahan
penghasilan itu lebih berdasar pada Surat Keputusan Gubernur Nomor
603/2003.
Meski perubahan ini didasarkan pada SK Gubernur Sulsel nomor
603/2003, Bastian menganggap, SK Gubernur tidak berhak untuk
menentukan penambahan anggaran.
Jumlah dana Rp11,4 miliar ini, kemudian ditambah dengan anggaran
biaya operasional komisi dan insentif kesejahteraan yang awalnya
ada pada Pos Sekretaris Dewan.
Pembengkakan anggaran berawal dari hasil pemeriksaan Itjen
Depdagri nomor 900/VIII/484/2003 tanggal 23 Juli 2003 yang
memerintahkan untuk menggeser anggaran tersebut ke anggaran dewan.
"Saat penggeseran itulah mungkin dimanfaatkan oleh DPRD untuk ikut
menambah nilai nominalnya. Bayangkan saja, biaya operasional
komisi yang seharusnya Rp150 juta membengkak menjadi Rp900 juta,"
tutur Bastian Lubis, seorang auditor senior dan tokoh LSM di
Makassar.
Ia menambahkan bahwa jumlah keseluruhan pembengkakan anggaran
tersebut mencapai Rp6,86 milyar. Jumlah pembangkakan anggaran ini
lalu ditambahkan dengan penyimpangan pos anggaran yang seharusnya
tidak ada yakni Rp11,4 miliar.
"Jadi keseluruhan penyimpangan dana sebesar Rp18,23 milyar,"
tambah Bastian.
Namun belakangan, selama proses penyidikan kasus tersebut
dilakukan Polda Sulsel mulai dari kepemimpinan Irjen Pol Saleh
Saaf sampai ke Irjen Pol Aryanto Boedihardjo, para tersangka yang
awalnya berjumlah 17 orang dengan jumlah kerugian Rp18,2 miliar
berubah menjadi enam orang dengan jumlah kerugian Rp5,1 miliar dan
keputusan paling akhirnya adalah menghentikan penyidikannya.
"Kalau nanti ditemukan bukti-bukti baru adanya unsur korupsi dalam
kasus ini, Polda siap untuk membuka kembali penyidikannya," kata
Direskrim Polda Sulsel baru-baru ini saat mengumumkan penghentian
penyidikan kasus itu. (T.K-RS/MKS1) (T.R007/B/T010/T010)
05-03-2007 15:08:15