Monday, April 23, 2007

MAUDU LOMPOA AJANG PERTEMUAN JODOH

2300047 4/23/2007 06:40:37
SPEKTRUM


MAUDU LOMPOA AJANG PERTEMUAN JODOH

Oleh Rahma Saiyed
Siang itu, cahaya mentari di sungai Cikoang, Desa Cikoang Laikang, Kabupaten Takalar, menyengat kulit.
Namun ribuan anak-anak, muda-mudi, dan orang dewasa, terus menyusuri muara yang letaknya sekira 75 menit perjalanan darat ke selatan Kota Makassar.
Mereka memasuki desa Cikoang untuk memeriahkan maulid Nabi Muhammad SAW yang secara rutin diperingati warga setempat dengan acara tradisi Maudu Lompoa sejak 396 tahun lalu.
Di sepanjang muara sungai itu sejumlah perahu baik yang berukuran besar maupun kecil tertambat rapi di pinggiran sungai.
Perahu-perahu tersebut dihiasi dengan kain sarung berwarna-warni didukung dengan hiasan berbagai bentuk kertas minyak aneka warna dilengkapi berbagai sesajian.
Tidak ketinggalan beberapa telur yang dicat berbagai macam menghiasi sesajian itu. Telur-telur itu ditusuk dengan bambu dan ditancapkan pada sebuah bakul berukuran sangat besar yang terbuat dari daun lontar.
Isi bakul itu antara lain songkolo, makanan tradisional masyarakat Sulsel yang terbuat dari beras ketan.
Di dalam bakul itu pula, terdapat ratusan potong ayam goreng, kue tradisional serta buah kelapa muda. Di sana-sini terlihat pemandangan sejumlah masyarakat yang masih sibuk menghiasi perahunya, termasuk menyiapkan segala kebutuhan Maudu Lompoa.
Menurut Ridwan, Kepala Dinas Pariwisata Takalar, masyarakat Cikoang meyakini bahwa perahu yang paling meriah hiasan dan paling banyak sesajiannya menunjukkan bahwa pemiliknya berasal dari keluarga berada.
"Gengsi orang terletak pada seberapa banyak kain sarung sutra warna-warni yang ditautkan pada tiang layar perahunya," ujarnya.
Setiap sesajian itu memiliki makna masing-masing.
Tokoh adat Karaeng Bella mengatakan bahwa bakul anyaman dari daun lontar ini menunjukkan bahwa tubuh manusia dililit (dianyam) dengan ribuan saraf, telur berarti keyakinan (makrifat).
Persembahan berupa daging ayam bermakna tarekat akan suatu masa termasuk pembelajaran terhadap makna kehidupan manusia sedangkan songkolo disimbolkan sebagai tanah, air, api dan angin yang melambangkan hakikat manusia yang terdiri dari empat unsur itu.
Kain sarung dianggap sebagai tempat bernaung saat manusia berada di padang mahsyar dan perahunya ibarat bahtera menuju berkah.
Sementara itu, sesekali terdengar suara gendang, kaum tua-muda silih berganti menabuh gongnya dan ada pula yang memainkan peralatan musik kpi (gitar kecil yang terbuat dari kayu). Itu, umumnya dilakukan orang tua.
Sedangkan kaum perempuan tampil bersolek cantik mengenakan sarung-sarung tradisional terbuat dari sutra.
Sejumlah anak laki-laki dan perempuan, menceburkan diri ke sungai, diikuti sejumlah orang tua yang terpaksa diceburkan ke sungai.
Tradisi menceburkan diri ke sungai Cikoang dan ritual siram-menyiram ini merupakan simbol untuk menghilangkan sial dan membersihkan diri dari dosa.
Ketika matahari tepat berada di atas kepala, masyarakat Cikoang mulai memadati panggung, tempat pertemuan masyarakat adat.
Mereka membawa bakul yang berisi songkolo dan daging ayam, ada pula yang mengarak rangka perahu hias berkaki (julung-julung) dan tempat sesaji yang terbuat dari kayu berbentuk segi empat (kandawari) untuk diletakkan di depan pendopo dengan diiringi tabuhan bedug, shalawat dan doa-doa yang diucapkan tokoh masyarakat dan pemangku adat.
Ketika matahari memancarkan sinarnya di ufuk barat, sejumlah perahu itu kemudian di larung ke laut dan masyarakat pun mulai menyerbu julung-julung dan kadawari yang berisi berbagai makanan dan kain itu. Masyarakat pun saling berebutan, berusaha mendapatkan isi julung-julung dan kandawuri.
Mereka meyakini bahwa orang yang memakan sesaji itu akan mendapat berkah. Sementara pembuat sesaji, harus bertukaran sesaji agar mereka dapat memperoleh berkah.
Menurut aturan masyarakat setempat, kata Ridwan, mereka tidak boleh memakan sesaji yang dibuatnya sendiri.

Temu jodoh
"Maudu Lompoa" (maulid besar-besaran) Cikoang yang merupakan tradisi masyarakat Desa Cikoang Laikang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, cukup terkenal sebagai ajang pertemuan jodoh di kalangan masyarakat keturunan Sayyid (Syekh) Djalaluddin.
Tradisi Maudu Lompoa yang digelar sejak tahun 1621 ini dihadiri puluhan ribu orang keturunan Sayyid baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Cikoang.
Bahkan ada pula keturunan Sayyid yang berada di luar negeri, sengaja datang hanya untuk menghadiri peringatan Maudu Lompoa ini.
Upacara ini semakin menarik karena sering dijadikan kaum mudi-mudi untuk mencari pasangan.
Menurut warga Cikoang, Ratnawati, perempuan yang berasal dari keturunan Sayyid tidak diperbolehkan menikah dengan lelaki yang bukan berasal dari kaummnya.
Bila hal ini dilanggar, maka si gadis tersebut akan dikeluarkan dari silsilah keluarga bahkan tidak dianggap lagi sebagai anggota keluarga.
Itu sebabnya, tidak sedikit keturunan Sayyid, terutama perempuan yang sengaja datang ke perayaan Maudu Lompoa Cikoang ini untuk mencari jodoh. Banyak pula pula orang tua yang terlibat di dalamnya, berupaya untuk mencarikan jodoh bagi anak gadisnya.
Berbeda halnya dengan kaum adam, aturan ini tidak berlaku pada mereka.
Menurut Ratnawati, laki-laki diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri calonnya dan tidak diwajibkan untuk menikahi perempuan dari kalangan Sayyid.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Takalar, Ridwan menyebutkan bahwa hingga saat ini, aturan tersebut masih tetap berlaku dan sang gadis akan dianggap telah mati oleh keluarganya bila menikah dengan lelaki yang bukan berasal dari gologannya sendiri.

40 hari
Dalam menggelar perayaan Maudu Lompoa yang pertama kali dipelopori Sayyid Djalaluddin, penyebar agama Islam di Muara Sungai Cikoang ini, dibutuhkan waktu selama 40 hari untuk mempersiapkan segala-segalanya termasuk prosesi ritual sebagai syarat pelaksanaan Maudu Lompoa.
Pertama-tama, masyarakat perlu melakukan prosesi upacara mandi (a'je'ne-je'ne sappara/mandi pada bulan Syafar) yang dilakukan pemangku adat.
Setelah itu, masyarakat menangkap ayam dan mengurungnya selama empat puluh hari dan memberinya makanan (beras) yang kualitasnya sangat bagus.
Ayamnya haruslah ayam kampung terpilih.
Masyarakat lainnya melakukan prosesi membuat baku sesaji dari daun lontar (angnganang baku).
Dilanjutnya dengan acara menjemur padi dalam lingkaran pagar yang telah ditentukan ukurannya lalu menumbuk padi dengan lesung serta mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri (ammisa' kaluku).
Dua hari sebelum pelaksanaan Maudu Lompoa, masyarakat setempat menggelar upacara potong ayam dan menghias telur. Kaum perempuan/ibu-ibu bersama dengan anak-anak kemudian mulai membuat songkolo, ayam goreng dan kue menggunakan kayu bakar.
Prosesi memasak ini pun memiliki aturan khusus.
Mereka harus memasak di dalam "rabbang" (di bawah kolong rumah panggung) dan tidak boleh keluar dari pagar.
Bahkan untuk mencuci beras pun, harus dilakukan selama tujuh kali dan air cucian beras itu dibuang pada tempat yang telah disiapkan dan ditampung dalam lubang rabbang.
Sebelumnya, kaum perempuan yang memasak itu diwajibkan berwudhu dan harus menggunakan sarung.
Setelah itu, beras yang sudah masak setengah matang ditaruh dalam bakul, dilengkapi dengan telur dan ayam goreng.
Bakul yang dipersiapkan sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Setelah prosesi itu selesai, barulah masyarakat berkumpul untuk memulai Maudu Lompoa.
Gubernur Sulsel HM Amin Syam yang hadir pada acara tersebut menyatakan amat terkesan dengan kebersamaan dan eratnya tali silaturahmi warga setempat yang terlihat dalam Maudu Lompoa.
(T.K-RS/A/s018/s018) 23-04-2007 06:39:45
NNNN

Back


Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA