Monday, April 2, 2007

PROFIL---INGIN JADI PELUKIS, ZAINAL "KUCING-KUCINGAN" DENGAN ORTUNYA

0200855 4/2/2007 23:22:08
SPEKTRUM


PROFIL---INGIN JADI PELUKIS, ZAINAL "KUCING-KUCINGAN" DENGAN ORTUNYA

Oleh Rahma Saiyed

Untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang pelukis terkenal di tanah air, Zainal Beta (47) yang dikenal sebagai pelukis tenar tanah liat, mengaku terpaksa bermain kucing-kucingan dengan kedua orang tuanya karena kedua orang tuanya (ortu) yakni Dg Beta (ayah) dan Dg. Saga (ibu) tidak merestuinya untuk menjadi seorang pelukis.
Kadangkala, Zainal terpaksa melukis di suatu tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh kedua orang tuanya bahkan tidak jarang, dia terpaksa melukis di bawah kolong tempat tidurnya agar tidak ketahuan.
Soalnya, selama tiga kali berpindah sekolah dari satu SMU ke SMU lainnya, yakni STM Pembangunan, SMK Pertanian dan SMA Cokroaminoto Makassar, anak ke-6 dari 12 bersaudara ini tidak juga berhasil menyelesaikan studinya sehingga membuat kedua orang tuanya marah besar.
"Hancur sudah masa depanmu kini," tutur Zainal mengutip kata-kata ibunya yang dilontarkan dengan nada tinggi itu.
Mendengar demikian, ayah emat anak ini mengaku hanya tersenyum saja sembari berjanji akan membuktikan kepada orang tuanya bahwa suatu saat anti, dirinya akan berhasil dan menjadi orang terkenal.
Kemarahan orang tuanya itu, ia jadikan cambuk untuk terus berkarya dalam bidang seni demi membuktikan bahwa dirinya dapat menjadi manusia berguna.
Alhasil, setelah beberapa puluh tahun lamanya menekuni seni lukis sejak 1980-an, ia akhirnya dikenal sebagai pelukis. Bahkan diakui, kedua orang tuanya merasa bangga saat pertama kali melihat Zainal tampil di televisi bersama dengan seorang pelukis terkenal, Afandi, yang namanya telah mendunia.
"Selama 15 tahun lamanya menekuni dunia ini, orang tua saya baru mengetahui bila saya adalah pelukis saat melihat penampilan perdana saya di TV," kata suami Andriani ini.
Setelah peristiwa itu, ujarnya, kedua orang tua Zainal pun menyerahkan sepenuhnya kepada pelopor pelukis tanah liat ini untuk menentukan sendiri jalan hidupnya.
Melalui kelincahan dan kepiawaian tangannya ini dalam menorehkan tanah liat pada kanvas, Zainal telah melanglang buana ke beberapa negara seperti Jerman dan Belanda. Bahkan lukisan-lukisannya laris terjual hingga ke mancanegara seperti Amerika Serikat, Ingris, Perancis, Belanda dan Jerman.
Lukisan termahal yang pernah dijualnya seharga Rp10 juta dan terendah Rp500 ribu/buah. Di sela-sela pameran lukisan yang digelar bersama rekan-rekan seprofesinya di Hotel Clarion Makassar pada Jumat (30/1), Zainal memperlihatkan kebolehannya melukis pada kanvas dengan menggunakan tanah liat dalam tempo dua menit.
Perlahan-lahan, Zainal memasukkan tanah liat dalam gelas plastik aqua kecil yang kemudian dicampur dengan air hingga encer. Masing-masing gelas berisi tanah liat encer dengan warna yang berbeda-beda.
Dia pun lalu mengoleskan tanah liat itu dengan menggunakan tangannya ke dalam kanvas berukuran selebar layar TV 16 inchi. Setelah itu, dia mulai membentuk gambar-gambar yang diinginkannya seperti rumah adat Bugis-Makassar, Toraja atau gambar kapal phinisi dan situasi suatu daerah dengan menggunakan sebilah bambu berukuran 3x4 centimeter.
Dalam waktu dua menit, ia telah berhasil menyelesaikan lukisanya itu. Pada umumnya, Zainal lebih banyak mengekspresikan masalah sosial dalam kanvasnya tersebut
Tanah-tanah liat yang diperolehnya itu, berasal dari beberapa daerah di Sulsel, seperti Makassar, Kabupaten Soppeng, Tana Toraja, Gowa dan Jeneponto serta Bulukumba.
Guna mencari tanah liat, tidak jarang dia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp500 juta untuk sekali jalan ke luar daerah. "Saya yakin, setiap daerah itu memiliki tanah liat yang berbeda-beda warnanya," katanya dan menambahkan bahwa dengan tanah liat ini, ia bisa menyatukan nusantara melalui lukisannya.
Biasanya, kata ayah Mentari ini, Zainal membawa tanah liat dalam jumlah yang banyak (hingga enam karung) dari daerah tertentu sehingga tidak jarang dia ia dikatakan orang gila.
Namun cacian masyarakat tak dihiraukannya bahkan ia makin aktif melakukan pencarian tanah liat ke sejumlah wilayah di Sulselbar.
Sejumlah tanah liat yang telah diperolehnya berasal dari Makassar dengan warna ungu dan orange, Kabupaten Gowa dan Takalar (abu-abu), Jeneponto (hitam), Barru dan Soppeng (hijau), Tator (coklat tua dan krem) serta Mandar dengan tanah liat berwarna merah.
Zainal berharap, tanah liat-tanah liat yang berasal se-antero Nusantara hingga yang berasal dari Papua, dapat disatukan dalam sebuah kanvas. "Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan manusia," ujarnya.
Namun sayang, Zainal mengakui bahwa pemerintah Sulsel kurang memberikan perhatian terhadap aktvitas yang dilakukannya dalam mengembangkan seni lukis dengan memanfaatkan sumber daya alam ini.
Dia berharap, kelak pemerintah setempat dapat menyediakan lahan khusus yang dipenuhi dengan berbagai tanah liat yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia untuk dikelolanya sendiri.
(T.K-RS)
(T.K-RS/B/K002/K002) 02-04-2007 23:21:51
NNNN

Back


Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA